http://www.komisiGRATIS.com/?id=musTD

ayo gabung.. nggak nyesel... kan ndak bayar...

Rabu, 03 November 2010

KASUS KELUARGA MERCY DAN KELALAIAN NEGARA



             Mereka yang beberapa Tiga tahun lalu, 14 Desember 2004, Ny Jasih, 30, nekat membakar diri bersama dua anaknya, Galang Ramadhan, 6, dan Galuh, 4. Warga Koja di Jakarta Utara itu diduga frustrasi akibat tekanan ekonomi. Peristiwa itu dilakukan di rumah kontrakan mereka di Lagoa (Kompas, 15/12/2004). Ketiga orang itu akhirnya meninggal.
Kali ini, Minggu (11/3), peristiwa serupa terjadi di Lowokwaru, Malang. Ny Junania Mercy, 37, meminumkan keempat anaknya dengan air putih bercampur racun potassium hingga mereka tewas. Setelah keempat anaknya benar-benar tewas, giliran Ny Mercy menenggak air beracun itu sampai tewas.

Kasus diMalang itu sungguhlah tragis.

            Dalam dunia nyata tak pernah ada seorang ibu rela membunuh anak-anaknya, tetapi realitas itu melahirkan anomali tatkala tekanan lain mematikan rosionalitas. Lantas yang terjadi adalah keterpaksaan Ny Mercy untuk membunuh keempat anaknya dan ia sendiri bunuh diri. Baginya dunia terasa begitu menyesakkan, dan berharap kematian akan menjadi pintu bagi kehidupan yang lebih baik di alam lain.
            Banyak orang menempatkan kasus Ny Mercy  itu sebagai kisah bunuh diri biasa. Tak beda dengan serentetan kasus bunuh diri di Gunung Kidul Yogyakarta lantaran himpitan ekonomi. Warga Gunung Kidul terisolasi dari informasi serta termarjinalkan secara ekonomi dan sosial. Masalah terasa kian berat karena mereka harus memikul beban sendiri di tengah ketidakpedulian lingkungan dan ketidakpekaan negara (Darmaningtyas, 1990).
            Ada dua hal penting dari kasus bunuh diri itu, yakni ketidakpedulian lingkungan dan ketidakpekaan negara.  Ny Mercy punya otonomi bertindak untuk memilih membunuh dan bunuh diri sebagai jalan keluar dari penderitaannya. Tetapi otonomi itu terbangun dari sebuah kausalitas yang melibatkan lingkungan dan negara. Seberapa jauh lingkungan dan negara terlibat?

Peran Negara

            Secara harafiah rakyat diartikan sebagai penduduk suatu negara (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001:924). Dalam pengertian ini jelas bahwa rakyat dan negara merupakan sebuah kesatuan. Rakyat tak mungkin ada tanpa negara, sebaliknya negara tidak mungkin berdiri tanpa rakyat. Maka secara denotatif  ‘rakyat tanpa negara’ adalah mustahil.
Paralel dengan pengertian harafiah itu adalah penegasan filsuf N Driyarkara (dalam Karya Lengkap Driyarkara, 2006). Ia menegaskan negara tidak mungkin terwujud jika masyarakatnya tidak melakukan gerak aktif dinamis atau tindakan untuk mewujudkannya. Negara akan terwujud jika masyarakat merealisasikannya meski menghadapi kemungkinan kegagalan. Bisa diartikan, negara merupakan semacam kumpulan dari berbagai kemungkinan atau potensi yang perwujudannya bergantung dari usaha yang dilakukan masyarakat itu sendiri.
            Sebaliknya, secara konotatif ‘rakyat tanpa negara’ memungkinkan saja. Setidaknya bisa dilihat dari beberapa pengertian negara secara umum. Negara adalah a body of people living under a single government; a nation or  the territory of such a government (Vianna,1996) Dari kacamata filsafat politik, negara didefinisikan sebagai lembaga pusat pemersatu masyarakat. Karenanya, fungsi dasar dan hakiki negara adalah penetapan aturan-aturan kelakuan yang mengikat (Magnis Suseno, 2001). Lebih singkat dikemukakan Yap Thiam Hiem (1988) negara adalah ‘wakil rakyat’ dalam mengurusinya. Dari teori integralistik disebutkan antara lain negara semestinya mampu menjadi petunjuk jalan ke arah cita-cita luhur yang diidam-idamkan oleh rakyat (Castles, 1988).
            Pengertian-pengertian itu menguatkan peran negara terhadap rakyatnya, yakni negara berwajib melindungi tiap orang untuk hidup dengan cara yang layak, dan harus mencegah kemungkinan bahwa seseorang menjadi terlunta-lunta dan sengsara dalam kehidupan materiilnya (Kleden, 2004)
Memang campur tangan negara masih diperdebatkan. Kleden memberi contoh bahwa kaum kapitalis radikal menolak campur tangan negara, dan menolak juga hak asasi ekonomi, karena dianggap bahwa pasar bebas memberikan kesempatan cukup untuk setiap orang yang mau berusaha guna meningkatkan taraf hidupnya secara ekonomi.
Namun Driyarkara memandang sah-sah saja campur tangan itu. Ia mengungkapkan negara bertugas menciptakan situasi, kondisi yang memungkinkan bagi para pelaku bisnis agar dapat mengembangkan usahanya, sekaligus menjadi wasit agar setiap warga negaranya mendapat kesejahteraan dari dunia ekonomi.
            Jika dicermati Driyarkara mau mengatakan negara bertanggungjawab atas kesejahteraan warganya. Persis seperti dikemukakan Magnis Suseno, negara bertujuan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum. Bukan berarti negara harus langsung memenuhi kebutuhan warga negara sehingga mereka sejahtera karena kebutuhannya terpenuhi. Sebenarnya adalah secara tidak langsung harus menyejahterakan warga negara. Negara harus menciptakan kondisi sosial yang memungkinkan warga negara bisa sejahtera.
            Dalam konteks Ny Mercy, tampaknya pemimpin di negeri ini lebih suka bernyanyi daripada memikirkan nasib rakyatnya. Mereka seolah tak merasa bersalah manakala rakyatnya tak kuat menahan beban persoalan ekonomi. Jangan-jangan mereka pun tak mau tahu tatkala sejumlah media memberitakan kasus bunuh diri Ny Mercy itu.
Lantaran enggan memikirkan rakyatnya, pemimpin pun lupa akan pesan Amartya Sen, pemenang hadiah Nobel ekonomi, bahwa orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena mereka tidak memiliki sesuatu. Sen ingin menegaskan ketiadaan akses bagi rakyat miskin.
            Tak jauh beda dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Sjahrir (1983), kebijakan negara untuk membantu rakyat miskin adalah sebuah pendekatan yang mempengaruhi alokasi sumber daya melalui pasar atau institusi lain sehingga dapat terpenuhi konsumsi minimal dan pelayanan strategis.
Kenyataannya akses itu lebih dinikmati oleh elite politik atau para kolega penguasa. Hal ini menyebabkan ‘yang miskin kian miskin, si kaya bertambah kaya’. Bagi si miskin yang rapuh, ia bisa saja memilih jalan pintas dengan cara bunuh diri, dan ini telah dibuktikan oleh Ny Mercy.

Tak ada Kepedulian

            Selain kelalaian negara ada juga faktor lain yang menyebabkan Ny Mercy memilih bunuh diri, yakni ketidakpedulian sesama. Mereka yang terjebak kemiskinan butuh kepedulian dari mereka yang kian mapan perekonomiannya. Inilah semangat solidaritas. Justru solidaritas ini diharapkan menjadi peredam kesenjangan sosial.Solidaritas merupakan tanggung jawab bersama di antara komunitas keluarga manusia. Mereka yang bukan korban berpartisipasi dalam kelemahan dan keterbatasan korban.
            Di sini mengandung makna persaudaraan sebagai keluarga manusia yang menumbuhkan kesetiakawanan maupun senasib sepenanggungan. Persaudaraan itu membuat seseorang lebih sering memasang telinga, mata dan mulut demi penderitaan orang lain. Kita benar-benar menjadi manusia apabila mempunyai kepedulian dan tanggung jawab terhadap kehidupan manusia lain, terutama yang menderita dan yang paling miskin maupun tertindas.
           Solidaritas itu dibutuhkan agenghasilan tinggi (karena kenaikan gaji maupun tunjangan) mau mendengarkan penderitaan kaum miskin, di antaranya mereka yang terkena PHK atau sama sekali tak bekerja. Artinya ada sebagian rezeki yang diperoleh kaum mapan itu disalurkan bagi kepentingan orang miskin. Ada akses yang dikuasai orang mapan itu, sebagian diberikan kepada kaum miskin. Inilah kepedulian. Solidaritas butuh tindakan konkret, warga jadi enggan bersolidaritas jika tidak ada teladan. Sejumlah pejabat, tokoh, maupun pemuka agama mau memberikan teladan bagi solidaritas dimaksud. Dari usaha ini diharapkan terbangun solidaritas permanen, bukan sesaat, sehingga orang-orang menderita ada yang memedulikan.
            Celakanya para pemimpin kita memberi contoh yang tidak baik. Banyak dari pemimpin itu terjebak egoisme. Mereka melanggengkan kekuasaannya demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Mereka memburu jabatan penting demi pundi-pundi kekayaan bagi dirinya atau partainya saat menghadapi pemilu. Dalam benak mereka, rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu, selebihnya rakyat dibiarkan berjalan sendiri.
            Kondisi ini membuat kita bertanya-tanya, apakah kasus Ny Mercy ini merupakan yang terakhir? Tampaknya kita was-was, jangan-jangan setelah Ny Mercy masih ada giliran berikutnya! Modusnya mungkin berbeda, seperti Yeni, 23, di Tangerang yang membakar kedua anaknya pada Januari 2006 atau Anik Komariah di Bandung yang membunuh ketiga anaknya dengan membekap mereka pakai bantal, atau bisa juga cara lain. Apapun cara itu, kasus-kasus Ny Mercy, Ny Jasih, Anik Komariah, dan Yeni, sungguhlah merupakan representasi dari rakyat yang terhimpit kesulitan ekonomi. Apakah para pemimpin masih berdiam diri?

Posted

Toto Suparto
Peneliti Puskab Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar