http://www.komisiGRATIS.com/?id=musTD

ayo gabung.. nggak nyesel... kan ndak bayar...

Rabu, 03 November 2010

Membantu Anak dan Keluarga yang Berkebutuhan Khusus: Sebuah Pendekatan Berorientasi Sumber


            Pemikiran-pemikiran sekarang ini mengenai bagaimana cara yang terbaik untuk membantu anak dan remaja beserta keluarganya telah mengalami perubahan yang signifikan, khususnya jika dibandingkan dengan pemikiran dan asumsi yang telah diterima sebelumnya.

           Perubahan ini disebut sebagai sebuah “pergeseran paradigma”, walau apakah kita dapat mendeskripsikan seperti itu mungkin masih merupakan perdebatan. Namun demikian kita memang sedang mengalami sebuah perubahan dalam asumsi kita mengenai bagaimana cara terbaik untuk meningkatkan perkembangan anak dalam hal kesadaran diri dan kemampuannya, sebuah perubahan yang melibatkan perubahan radikal dalam cara pandang dan menghasilkan perubahan cara berpikir dan bertindak. Namun perubahan seperti ini perlu waktu. Ini merupakan proses revolusi ke arah cara berpikir baru yang radikal mengenai bagaimana kita dapat meningkatkan penghargaan diri pada orang tua dan anak, dan penemuan sumber kekuatan dan kesempatan yang mereka miliki untuk berkembang. Keyakinan tradisional dan praktek professional ditantang di sini. Karena perubahan ini menyentuh inti pemahaman kita secara mendalam mengenai bagaimana kita dapat membantu anak dan orang tua, keyakinan tradisional dan praktek para profesional ditantang di sini.

             Kita dapat melihat proses evolusioner ini melalui tiga perspektif tentang layanan bagi anak dan keluarga yang berkebutuhan khusus. Pertama, dengan mempertimbangkan perubahan dalam filosofi, sikap dan praktek profesional. Kedua, dengan mempertimbangkan perkembangan filosofis dan konseptual yang tercermin dalam literatur akademik. Dan ketiga, dengan mempertimbangkan dampak dari pengakuan atas kebutuhan psiko-sosial anak serta peran orang tua dan guru dalam perkembangan dan pembelajaran anak.


Filosofi, Sikap dan Praktek Profesional

             Pertama-tama mari kita lihat perubahan dalam filosofi, sikap dan praktek profesionalyang terkait dengan bantuan bagi anak yang berkebutuhan khusus. Baik tindakan intervensi spesifik maupun filosofi yang mendasarinya telah berubah secara signifikan selama kurun waktu 30 tahun silam.

             Dari Perang Dunia Kedua sampai akhir tahun 1970-an, intervensi didominasi oleh apa yang dapat kita sebut sebagai “pendekatan yang berpusat pada para profesional”. Orientasi ini berimplikasi bahwa para profesional membuat diagnosis, memberi resep untuk perlakuan, dan bertanggung jawab atas pelaksanaannya. Proses perlakuan tersebut hanya menyisakan sedikit ruang untuk partisipasi para orang tua atau profesional pemberi layanan lainnya kecuali pemberian saran atau rekomendasi yang berhubungan dengan perlakuan sehari-hari. Sering kali saran dan bimbingan tersebut sangat umum atau abstrak sehingga sulit untuk diterapkan pada situasi yang nyata sehari-hari. Pada tahun 1980-an, praktek profesional seperti ini berubah di banyak bidang menjadi apa yang dapat disebut sebagai pendekatan yang lebih “berorientasi keluarga”. Meskipun dengan pendekatan ini diagnosis masih dilakukan oleh seorang profesional yang juga memberikan resep untuk perlakuan, tetapi orang tua, guru dan profesional lain dalam bidang pemberian layanan dilibatkan dalam tingkatan yang lebih besar dan dengan metode yang lebih sistematis dalam pelaksanaan perubahan aktivitas dan rutinitas di lingkungan rumah. Ini merupakan sebuah pengakuan bahwa perlakuan dapat berdampak lebih besar terhadap perkembangan dan kompetensi anak jika pengasuh dan pihak-pihak
lainnya di dalam lingkungan sehari-hari anak secara aktif berpartisipasi dalam upaya memanfaatkan dan mengembangkan keterampilan anak melalui aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keterampilan tersebut. 

             Menjelang akhir tahun 1980-an tapi umumnya pada tahun 1990-an, terdapat perubahan lebih lanjut menuju pendekatan “berpusat pada keluarga” dalam melakukan intervensi. Pendekatan ini lebih banyak melibatkan anggota keluarga dalam mendeskripsikan dan menentukan hakikat dan cakupan masalah serta mengevaluasi pelaksanaan perlakuan dalam hal kecukupannya dan efektivitasnya. Ini juga berarti bahwa keluarga, pada tingkat yang lebih besar, bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, dan memandang keluarga sebagai pelaksana penting dalam upaya membantu anak.

             Menarik untuk dikemukakan bahwa perubahan dalam praktek profesional ini berlangsung sejalan dengan perkembangan konsep baru yang merefleksikan sebuah perubahan mengenai bagaimana para profesional harus bekerja dengan keluarga serta munculnya konsep tersebut dalam literatur akademik. Dalam konteks ini, mari kita tinjau secara singkat contoh-contoh dari beberapa konsep ini: Pemberdayaan (empowering): ini adalah sebuah istilah yang diperkenalkan dalam filosofi pembebasan dari Freire, dan dalam konteks ini mengacu pada bantuan yang diberikan kepada keluarga dengan tetap memelihara dan mengembangkan rasa menentukan sendiri, rasa percaya diri, dan kemampuan untuk bertindak di dalam kehidupannya sehari-hari (Dunst, Trivette, Deal 1988; Freire 1973.)
             Pemupukan kemampuan (enabling): Istilah ini mengacu pada penetapan kerangka dasar kerja dan penciptaan kesempatan bagi keluarga untuk mendapatkan sumber-sumber kekuatannya sendiri dan membangun atas dasar sumber-sumber tersebut dan dengan kemampuannya sendiri sehingga mereka lebih dapat memenuhi kebutuhan anak-anaknya. (Dunst &Trivette 1987; Shelton, Jeppson & Johnson 1987.)
              Kemitraan atau partisipasi orang tua: istilah ini mencerminkan sebuah sikap positif terhadap bekerja secara aktif dengan orang tua dan pengasuh lainnya, yang berarti adanya pengakuan bahwa kerjasama tersebut meningkatkan hasil bagi anak maupun keluarganya, melebihi apa yang dapat dicapai dengan bentuk perlakuan yang berpusat pada profesional. Ini berimplikasi, antara lain, bahwa profesional harus bersedia bekerjasama dengan orang tua untuk mencari solusi terbaik (Kramer, McGonigel, Kaufmann 1991).
Bagi banyak pihak, konsep ini merepresentasikan sikap dan bentuk kerjasama yang baru di mana karakteristik berikut ini menjadi penting:
Saling menghargai
Keterbukaan satu sama lain, termasuk dalam perasaan dan sikap
Pertukaran pengalaman dan pengetahuan
• “Negosiasi” untuk menemukan solusi yang disetujui semua pihak.
             Bantuan berpusat pada klien: Konsep ini berarti bahwa titik awal untuk perlakuan adalah kebutuhan klien, bukan model profesional atau teori. Ini merupakan pendekatan di mana kliennya dimotivasi untuk secara aktif mengidentifikasi masalah, kebutuhan dan peluangnya sendiri, merancang rencana untuk perlakuan, dan secara sadar berupaya untuk mengimplementasikannya. Ide-ide ini mengikuti terapi berfokus klien oleh Carl Roger (1951), yang membuat sebuah kontribusi signifikan menuju pendekatan baru dalam pendidikan dan psiko-terapi (Rogers 1983).

Implementasi Praktis 
             Terdapat sedikit keraguan bahwa perubahan yang dinyatakan di dalam literatur akademik dalam bidang ini kini secara prinsipnya berada dalam prosesnya untuk diterima. Namun dalam hal implementasi praktis jalan yang ditempuh masih jauh. Mungkin Amerika Serikat telah lebih maju daripada Eropa; sikap ini tercermin, misalnya, dalam programRencana Layanan Keluarga yang Diindividualisasikan” (Mc Gonigel, Kaufmann, Johnson 1991)
            Teori pendidikan Paulo Freire (“pedagogy of the oppressed”) populer di tahun tujuh puluhan, pada waktu pergerakan sosial untuk kebebasan dari nilai-nilai dan tradisional lama merupakan elemen kunci perdebatan sosial dunia barat. Jelas bahwa ide Freire tentang pendidikan – yang dijelaskan dalam istilah-istilah seperti: “demokratisasi,”
peningkatan kesadaran,” “pengaruh,” dan “dialog,” (Faureholm 1997) – telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap sikap dan cara baru untuk bekerja dengan klien. Pemikiran ini dimanifestasikan dalam cara pemberian bantuan kepada anak dan keluarga sebagaimana disebutkan di atas. Penolakan Freire terhadap pandangan mereka yang melindungi ataupun menindas, dan dorongannya terhadap kualitas kerjasama yang berorientasi sumber tingkat tinggi yang berkaitan dengan orang yang memerlukan dukungan dan bantuan, tercermin dalam istilah “pemberdayaan” danmemupuk kemampuan” dalam hubungan antara para profesional dan klien. Filosofi dan sikap inilah yang juga tercermin dalam bentuk kerjasama modern yang menandai “generasi kedua” dari program intervensi untuk anak dan keluarga yang berkebutuhan khusus, yang akan dibahas lebih lanjut pada bab ini.
            Di Eropa tampak terdapat keragaman dalam sikap dan prakteknya. Pada prinsipnya di negara-negara Skandinavia terdapat kesepakatan yang meluas bahwa fokusnya harus pada kebutuhan klien dan bahwa penting untuk mempunyai sikap terhadap intervensi yang lebih dioreintasikan pada sumber. Namun, ada sejumlah pekerjaan yang sangat besar yang harus dilakukan dalam bidang ini untuk menerapkan hal tersebut. Kini terdapat pengakuan bahwa ada batasan tentang sejauh mana yang dapat kita capai jika memfokuskan pada keterbatasan sumber dan menggunakan bentuk perlakuan tradisional. Sebuah pendekatan yang lebih kuat adalah untuk memfokuskan pada pengembangan sumber-sumber yang ada pada diri anak dan keluarganya sebagai titik awal, di mana penekanannya pada peningkatan kesadaran dan mobilisasi kemampuan keluarga itu sendiri dan kesempatan untuk membangun kompetensinya. Pendekatan ini sekarang lebih diterima. Dalam teori telah diketahui bahwa agar anak dapat belajar dan berkembang, diperlukan kesadaran diri, dan motivasinya harus datang dari dalam diri mereka sendiri. Masalahnya selama ini adalah bagaimana menemukan cara yang efektif untuk mengimplementasikan pandangan ini ke dalam praktek.

Perubahan dalam Struktur Sosial dan Orientasi Nilai
beserta Dampaknya pada Keluarga dan Anak

             Dalam hal nilai dan orientasi keagamaan, masyarakat Nordik relatif homogen hingga setelah Perang Dunia II. Keyakinan, Etika moral dan etika Kristen secara umum diterima sebagai fondasi nilai oleh sebagian besar orang. Namun, periode paska perang membawa eksposur yang lebih besar ke komunitas internasional. Kerjasama internasional menjadi terinstitusi melalui PBB dan sejumlah forum internasional lainnya. Perkembangan televisi akhirnya membawa kehidupan sehari-hari masyarakat dunia ke dalam ruang keluarga setiap orang. Kebudayaan lain, pandangan dunia dan agama lain terus direpresentasikan juga di Negara-negara Nordik. Imigrasi yang meningkat merupakan kontribusi terhadap keragaman yang lebih besar. Agama Kristen dan pandangan dunia masih dominan – di Norwegia dianut oleh lebih dari 30% populasinya (MMI 1999), tetapi keragaman yang baru dan dinamis dari agama-agama dan pandangan dunia juga muncul di Skandinavia. Lebih dari faktor-faktor lain, proses industrialisasi membentuk perkembangan masyarakat Skandinavia paska perang. Pada akhirnya ini mengarah pada pertumbuhan dan konsumsi material yang meningkat, dan perhatian pada kesejahteraan material. Pada saat yang bersamaan, pertumbuhan industri hiburan mulai menembus masyarakat – menyita perhatian orang, semakin banyak mengambil waktu luang mereka, dan ini berdampak sangat besar pada kepercayaan, sikap dan perasaan mereka. Contoh relevan dari penelitian dalam bidang ini adalah sebuah studi yang menggambarkan secara jelas pengaruh negatif dari hiburan yang berisi kekerasan pada anak dan remaja (Berkowitz, 1993; Sinnets Helse (Majalah Kesehatan Mental) 1996).
             Perkembangan negara kesejahteraan di Negara-negara Nordik telah mengarah kepada standar hidup yang tinggi yang berimplikasi bahwa hampir tidak ada orang yang berkesulitan materi. Perkembangan kesejahteraan sosial yang luar biasa ini, bagi banyak orang, telah mengarah kepada orientasi materialistis yang kuat. Bagi banyak orang,
aspirasi kekayaan materi ini tampaknya merupakan upaya untuk mengkompensasikan kekurangan keberartian mereka dalam aspek hidup lainnya. Namun sekarang ini terdapat lebih banyak orang yang berupaya mencari arti dan arah baru dalam hidupnya meskipun kehidupan materinya sudah nyaman.

Perubahan Keluarga dalam Negara Kesejahteraan

              Sebuah konsekuensi penting dari industrialisasi paska perang adalah kebutuhan akan buruh. Bagi wanita, ini memberikan kesempatan baru untuk pekerjaan yang menghasilkan pendapatan di luar rumah. Di samping kesempatan yang lebih baik untuk pendidikan, penerimaan masyarakat terhadap kemandirian wanita dalam pekerjaan serta adanya konsep realisasi diri, telah mengakibatkan perubahan di dalam masyarakat yang mendorong banyak wanita untuk mencari pekerjaan di luar rumah. Kini sebagian besar wanita mempunyai pekerjaan yang mandiri. Perkembangan ini telah mengarah pada perubahan peran dan pembagian pekerjaan dalam keluarga. Kini lebih lumrah bagi pria dan wanita untuk berbagi dalam tugas-tugas mengasuh dan memelihara anak di rumah. Kesetaraan gender dan realisasi diri telah menjadi tujuan terintegrasi dari perkembangan sosial, kemitraan dan kehidupan keluarga. Dalam masyarakat paska industri di mana kekuasaan modal internasional hampir tidak dapat dihalang-halangi untuk membeli atau menjual tempat kerja, dan di mana terdapat tuntutan yang lebih besar akan pengetahuan spesialisasi, fleksibilitas dan mobilitas menjadi kata kunci dunia kerja.
             Di lain pihak, hal ini mengakibatkan keluarga dituntut untuk menyesuaikan kebutuhannya. Unit keluarga menjadi lebih kecil; keluarga kecil dengan dua orang anak telah menjadi norma standar. Keluarga besar telah hilang di dekade pertama setelah Perang Dunia II. Bahkan, keluarga dengan satu orang tua – sering kali seorang ibu dengan satu atau dua anak - menjadi hal yang umum seperti halnya keluarga kecil. Frekuensi perceraian keluarga yang meningkat telah mengakibatkan banyak anak mengalami hubungan dan kehidupan rumah yang tidak stabil. Keinginan untuk terus memperbaiki standar hidup, tuntutan untuk penampilan yang meningkat, dan efektifitas di dunia kerja, karir professional, dan keinginan untuk menjadi orang tua dan mempunyai anak-anak yang sukses merupakan salah satu sumber penyebab stres yang signifikan, yang banyak orang tidak dapat mengatasinya secara efektif. Cita-cita untuk mempunyaikeluarga bahagia” sulit untuk direalisasikan. Sejalan dengan semakin besarnya penerimaan masyarakat terhadap keluarga yang “pecah”, hal di atas mungkin merupakan faktor lain yang mengakibatkan perpecahan keluarga yang sering kita saksikan sekarang ini. Di samping itu, banyak anak dan remaja yang tidak sanggup memenuhi tuntutan untuk menyesuaikan diri dan berkinerja di dalam masyarakat yang semakin keras ini. Tuntutan untuk persaingan dan kesuksesan akan selalu berpihak kepada yang terkuat, yang akan mengakibatkan banyak orang jatuh keluar jalur dan merasa gagal dan tidak berarti. Suatu hal yang wajar untuk meyakini bahwa ini mungkin sebuah faktor penyebab peningkatan penyalahgunaan obat-obatan yang kita lihat sekarang, sebuah perkembangan yang sejalan dengan peningkatan signifikan sejumlah anak anak dan remaja dengan masalah emosional yang serius di negara-negara barat (Kementerian Sosial dan Kesehatan Norwegia, 2000).

Tonggak Bersejarah dalam Konsepsi Kita tentang
Perkembangan dan Pembelajaran Anak
             Hingga tahun 1950-an, konsepsi mengenai bagaimana anak belajar ditandai dengan persepsi bahwa anak-anak adalah penerima informasi yang pasif dari dunia di sekitarnya. Mereka dianggap sebagai “papan tulis yang kosong” yang melalui pengalaman akan diisi dengan kesan-kesan dan kemudian belajar mengenai dunia sekitarnya dan hubungannya dengan dunia itu. Pada akhirnya anak-anak akan dapat membawa pengetahuannya dan menggunakannya untuk memecahkan masalah dan mengadaptasikannya pada lingkungannya. 
               Tentu saja beberapa ahli teori menganggap bahwa belajar dengan “trial and error” dan belajar dengan wawasan merupakan aktivitas kognitif yang dapat dimulai oleh anak itu sendiri, tetapi proses belajar itu dianggap sangat pasif dalam kaitannya dengan peran anak dalam pembelajarannya sendiri.
               Namun pada tahun 1950 dan 1960-an konsep baru muncul. Suara-suara baru termasuk Jean Piaget (1952) dan Maria Montessorie (1968), yang berkontribusi pada revolusi dalam pemahaman tentang perkembangan kognitif anak. Dalam konsepsi baru tentang pembelajaran anak mengenai dunia di sekitarnya ini, anak-anak dianggap secara aktif memahami, mengatur, memilih dan memproses pengalamannya dengan lingkungan sekitarnya.
Anak kecil:
Memahami secara aktif
Mengatur secara aktif
Memilih secara aktif
Memproses secara aktif
Mengeksplorasi hubungan mereka dengan lingkungannya secara aktif
Mengawali interaksi dengan orang lain secara aktif
Merupakan mitra manusia yang setara.
             Yang tidak kalah penting adalah pengakuan bahwa anak secara aktif mengawali dan mengeksplorasi hubungannya dengan lingkungannya. Setelah perkembangan ini, anak- anak tidak lagi dilihat sebagai “penerima pasif” yang diisi dengan pengalaman, tetapi sebagai mitra kerja sama yang berinisiatif, yang dalam proses belajar harus dilihat sebagai mitra manusia yang setara. Tetapi eksperimentasi anak dengan dunia materi masih diberikan penekanan terbesar, sedangkan perkembangan sosialnya cenderung diabaikan – pada akhirnya akan datang bila mereka tumbuh besar dan belajar untuk menguasai hubungannya dengan lingkungannya.
              Studi empiris modern terhadap bayi baru dilakukan sejak tahun 1970-an dan 1980-an. Hasil dari studi ini lebih lanjut mengubah pemahaman perkembangan dan bakat anak. Pertama dan yang paling utama, kita mengetahui bahwa anak-anak adalah mahluk sosial yang alami. Anak-anak – sebagaimana digambarkan oleh Piaget – bersifat egosentris dan individualistis tanpa kemampuan untuk memahami dan merespon perasaan, kebutuhan dan keinginan orang lain. Menurut pandangan Piaget, anak-anak hanya secara lambat disosialisasikan setelah mereka meresap dunia luar dan dunia nyata. Dia juga menekankan bahwa anak belajar terutama melalui pengalaman langsung dengan dunia nyata dan melalui aktivitas eksplorasinya sendiri. Perkembangan psiko-sosial pada anak cenderung diabaikan.

tentang konseptualisasi anak dan perkembangan dininya
yang muncul dalam hasil penelitian tentang bayi modern
mengungkapkan dua perspektif utama: 
Anak-anak sejak lahir dipandang sebagai mahluk sosial dan dilahirkan dengan potensi untuk mengembangkan interaksi sosial dan mengorganisasikan kesan- kesan dan hasil belajar yang kompleks, suatu persyaratan untuk bertahan hidup dan berkembang dalam konteks sosial.
Anak-anak, pada tahap awal masa kanak-kanak, belajar terutama melalui interaksi dengan para pengasuhnya, dan para pengasuh inilah, terutama pada tahun-tahun pertama pertumbuhan, menjadi komunikator dan pembimbing anak yang paling penting dalam proses belajar. 

             Sekarang ini terdapat literatur yang ekstensif yang mendokumentasikan bahwa anak adalah manusia sosial yang interaktif sejak lahir. Dasar pemikiran untuk menciptakan ikatan sosial dan mengembangkan kontak yang bermakna ini tidak hanya penting untuk mendapatkan asuhan yang diperlukannya, tetapi juga merupakan prasyarat bagi kemampuan anak untuk belajar dan berkembang. Dasar pemikiran inilah yang harus diperhatikan oleh orang tua dan para pengasuh anak agar dapat meningkatkan kesejahteraan anak dan pembelajarannya. Kapasitas sosial ini merupakan “jembatan” yang harus dilalui oleh komunikasi antara pengalaman dengan proses belajar.

Ikatan Kasih Sayang, Komunikasi dan Pembelajaran Termediasi: Sebuah
Perspektif Holistik tentang Pengasuhan, Perkembangan dan
Pembelajaran.

           Ikatan kasih sayang, sebagai satu istilah yang terkait dengan kontak, berasal dari teori kasih sayang (attachment) dari John Bowlby (Bowlby 1969, 1988). Antara lain, ini mengacu pada “perilaku kasih sayang” pada bayi dalam bentuk kontak mata, senyuman, tangisan, peniruan dan gerakan sebagai sebuah dasar yang penting untuk menstimulasi perilaku asuh dari orang tua dan menciptakan sebuah ikatan emosional satu sama lain. Tampak jelas bahwa anak-anak cenderung untuk membangun hubungan psikososial dengan orang tuanya sejak lahir. Kecenderungan pada anak ini diekspresikan dalam pola perilakunya, yang disebutkan oleh Bowlby sebagai “perilaku kasih sayang”, sebagaimana dijelaskan di atas. Sebuah aspek penting dari kasih sayang dari anak, kalau ingin dibina, adalah hubungan positif dengan pengasuhnya. Pengasuh harus seseorang yang berkarakter lembut, hangat dan memberikan rasa aman – sebuah perasaan yang sering kita gambarkan sebagai cinta. Oleh karena itu, pengalaman ini terkait dengan interaksi sensitif. Perasaan cinta dikembangkan sebagai sebuah aspek penting dari pengalaman dengan orang tua, yang merupakan dasar bagi ikatan cinta antara orang tua dan anak. Perasaan cinta harus dianggap sebagai aspek penting dari ikatan kasih sayang yang kokoh. Di antara ekspresi emosional yang pertama dapat dikenali pada bayi adalah menangis dan gerakan kegelisahan sebagai ekspresi ketidaknyamanan, serta bermacam-macam isyarat suara, kontak mata, dan akhirnya senyum sebagai ekspresi senang. Sejumlah nuansa dan ekspresi lainnya muncul pada bulan-bulan pertama, terkait dengan stabilitas dan kematangan fisik serta pengalaman kontak dan interaksi dengan sesama manusia. Akhirnya ini menjadi sebuah fondasi untuk cara mengekspresikan perasaan yang mendampingi pengalaman yang lebih kompleks lagi dengan orang tua dan pengasuh. Prakondisi biologis yang digabungkan dengan pengalaman yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan sekitar, yang sudah terjadi pada tahun pertama kehidupan, menciptakan pola dasar untuk kontak dan interaksi. 
            Dasar yang sangat penting untuk terciptanya perkembangan hubungan sosial dini tampaknya adalah pengalaman saling mencintai dan rasa aman. Tampaknya perasaan positif ini, atau ikatan cinta, yang membuat ikatan kasih sayang orang tua-anak berlangsung seumur hidup. Jika kita menggambarkan “perilaku ikatan kasih sayang” hanya sebagai sebuah sistem biologis untuk menjamin perlakuan dan kelangsungan hidup, maka akan lebih mudah untuk mengabaikan perasaan positif yang menyertai interaksi yang bermakna ini, yang merupakan kekuatan yang mendorong ikatan kasih sayang. Meskipun kini terdapat kesepakatan umum bahwa perkembangan ikatan kasih sayang itu didasarkan atas kecenderungan biologis pada anak maupun orang tua, tetapi masih banyak dari fenomena
ini yang belum dapat dijelaskan. Tampaknya terdapat perasaan keterikatan psikobiologis yang bersifat alami, khususnya antara anak dan ibu, dan sudah ditunjukkan pada bulan- bulan pertama kehidupan bayi. Sebuah contoh ikatan psikobiologis ini dapat ditemukan dalam pengalaman dengan menggunakan “metode kangguru” bagi anak-anak yang terlahir dengan berat badan yang rendah. Anak-anak dengan berat badan rendah mudah kehilangan kehangatan tubuh karena mereka mempunyai bidang permukaan kulit yang relatif luas dibanding berat badannya. Bila anak ini dipangku oleh ibunya dan diletakkan pada payudara di bawah baju ibunya, dapat diamati bahwa terdapat sinkronisasi antara temperatur tubuh anak dan ibu. Pada poin ini, temperatur ibu turun sampai mencapai level normal (Luddington-Hoe, Hadded & Anderso 1989, dikutip dalam Anderson 1995). Contoh sinkronisasi biologis ini menggambarkan hubungan yang sangat intim yang secara potensial terjadi antara ibu dan anak sejak awal. Hakikat sosial dan biologis anak ini juga mencakup kecenderungan bayi untuk menerima suara manusia, bentuk wajah, dan gerakan manusia. Kita dapat melihat “ikatan kasih sayang” sebagai sebuah manifestasi dari sebuah “sistem perilaku” yang menurut perspektif biologis memberikan jaminan yang sebesar-besarnya bagi kelangsungan hidup. Tetapi ikatan kasih sayang juga berarti adaptasi terhadap situasi sosial pengasuhan di mana anak dapat memperoleh perhatian orang tua, melibatkan mereka secara emosional dan mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginannya kepada mereka. Prasyarat untuk mengembangkan ikatan kasih sayang dan komunikasi biasanya sudah ada pada diri anak
sejak lahir.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar